PERKEMBANGAN MAJALAH BERBAHASA JAWA DALAM PELESTARIAN
SASTRA JAWA
Kabul Astuti
Universitas Muhammadiyah Surakarta
[email protected]
ABSTRACT
Javanese language is one of the most widely spread of Austronesian language after the
Malay language. As a language which is rich of vocabulary and has been used for thousands of
years, the Java language is also the language of literature. Javanese literature has survived for
thousands of years. However, in this globalization era, the production of Javanese literature
meets an incredible deterioration. Anderson (1996:265) imagines that there is a sort of black hole
in Javanese literary tradition. There is a literary tradition that can be traced back over a thousand
years recede, as old as the English and French literature. Currently, one of the preservation media
remaining Javanese literature and productive is the Java language magazine. Java language
newspapers, novels, and books are no longer active written by the Javanese authors. The role of
Java language magazine deserves its own share of research on Javanese literature.
A number of issues that arise in Javanese literature in the magazine ranged between the
author regeneration, literary theme development along with the development of rapid
modernization, reader reception, until the effectiveness of the Java language magazine in the
preservation of Javanese literature. Nowadays, a lot of writers who speak Javanese as their
mother tongue prefers to use Indonesian language. The circulation of Java language magazine is
also more limited, along with the reduction in the Java language speakers. Most of the Java
language magazine subscribers are old people and institutions who are interested in the
preservation of the Java language like English or Regional Library Board. The above problems
have been revealed briefly about conditions, the potential, and also challenges in the preservation
of Javanese literature.
This study aims to describe the development of the Java language magazine in promoting
preservation of Javanese literature. The writer uses observation and study of literature as the
research method. First, this study will look at the development of Javanese literature in general.
Then, by zoom in, the research will be focused on the role of magazine in the development of the
Javanese literature which is already so old. Finally, the research will be elaborated on the
contributions, challenges, and alternatives to encounter the challenges faced by the Java language
magazine. Thus, the results of this study are expected to provide another view in increasing
preservation of Javanese literature.
Keywords : Javanese literature, Javanese magazine, Panjebar Semangat
Paper for “International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature”
6-7 November 2013 in University of Udayana, Bali
Theme: “Austronesian—Non Austronesian Languages, Literature and Culture, Globalization and Revitalization”
Pendahuluan
Sastra Jawa merupakan sebuah lahan kajian yang rumit dan sangat menarik, baik ditinjau
dari segi isi maupun dalam konteks “pengarang-sidang pembaca” atau “produsen-konsumen”,
terutama karena masyarakat Jawa telah mengalami perubahan-perubahan penting sejak
permulaan abad 20. Sastra Jawa, pada hakikatnya adalah sastra yang telah memiliki tradisi masa
lalu yang sangat mapan, kuat, dan terpelihara oleh sistem yang kuat yaitu sistem sastra kerajaan.
Karya-karya besar seperti Negarakertagama karangan Mpu Prapanca, Sutasoma, Arjunawiwaha,
Bhomantaka lahir di istana.
Tradisi kepenulisan sastra Jawa berpusat di keraton dan dilakukan oleh para pujangga
kerajaan. Oleh karena, tidak dapat dinafikan adanya hubungan erat antara pujangga dengan raja
sebagai pelindung kegiatan sastranya. Kakawin Hariwangsa karya Mpu Panuluh misalnya,
ditujukan kepada Dewa Wisnu dan raja Jayabaya, yang dianggap sebagai titisan Wisnu. Kepada
raja atau salah seorang anggota keluarga raja, para pujangga mempersembahkan karyanya.
Menurut Mpu Panuluh, syair itu sekurang-kurangnya “dapat membantu agar sang raja makin tak
terkalahkan dan dunia makin sejahtera.”1
Namun, dalam era globalisasi ini, produksi sastra Jawa mengalami kemunduran yang luar
biasa. Anderson2 membayangkan ada semacam lubang hitam bagi tradisi sastra Jawa. Ada suatu
tradisi sastra yang bisa dilacak surut seribu tahun lebih, setua karya sastra Inggris dan Perancis.
Sastra Jawa tertulis seperti yang ada di tengah-tengah masyarakat sekarang ini dapat dibagi
menjadi dua bagian, yaitu sastra tradisional yang terikat oleh patokan-patokan yang ditaati turun
1
Tentang hubungan antara penyair dengan raja sebagai pelindungnya, lihat P.J. Zoetmulder. Kalangwan:
Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1985). Hlm 194.
2
Anderson, Benedict R. O‟G.. 1996. “Sembah-Sumpah: The Politics of Language and Javanese Culture”
dalam Latif, Yudi dan Idi Subandy Ibrahim (ed.). Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru.
Bandung: Mizan. Hlm 268.
Paper for “International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature”
6-7 November 2013 in University of Udayana, Bali
Theme: “Austronesian—Non Austronesian Languages, Literature and Culture, Globalization and Revitalization”
temurun dari generasi ke generasi, dan sastra modern yang merupakan hasil rangsangan kreatif
dalam masyarakat modern. 3 Sastra jenis kedua tersebut biasa disebut dengan istilah sastra Jawa
gagrak anyar atau sastra Jawa modern. Suripan Sadi Hutomo, dalam “Periodisasi Kesusastraan
Jawa Gagrag Anyar” (Jaya Baya, No. 22 Januari 1972) membagi sejarah sastra Jawa modern
menjadi tiga, yaitu sebagai berikut.
1. Periode Balai Pustaka (1920-1945), pada periode ini genre novel diutamakan.
2. Periode Perkembangan Bebas (1945-1966). Di samping novel, cerita pendek dan puisi
juga dikembangkan. Perkembangan sastra masa ini didukung oleh tiga generasi penulis;
a. Angkatan kasepuhan (sebelum tahun 1945)
b. Angkatan perintis (tahun 1945)
c. Angkatan penerus (pasca 1960-an)
3. Periode Sastra Majalah (1966-sekarang). Ledakan roman penglipur wuyung diikuti oleh
peranan majalah-majalah berbahasa Jawa menjadi saluran publikasi sastra Jawa terpenting.
Media massa yang sangat berperan dalam penyebaran dan pengenalan sastra Jawa
tersebut antara lain Kajawen, Panjebar Semangat, Jaya Baya, Swara Tama, dan Pusaka
Surakarta. Beberapa majalah itu berjasa dalam menyebarluaskan cerita pendek Jawa, cerita
bersambung, dan geguritan. Ketika sastra Jawa dalam bentuk novel, babad, ataupun serat sudah
tidak aktif diproduksi lagi, kehadiran majalah berbahasa Jawa menjadi ujung tombak pelestarian
sastra Jawa. Dalam makalah ini, diuraikan mengenai kemunculan dan perkembangan majalah
berbahasa Jawa, kiprah Panjebar Semangat sebagai majalah berbahasa Jawa tertua yang masih
3
J.J. Ras. Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir. (Jakarta: PT Grafitipers, 1985). Hlm 3.
Paper for “International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature”
6-7 November 2013 in University of Udayana, Bali
Theme: “Austronesian—Non Austronesian Languages, Literature and Culture, Globalization and Revitalization”
bertahan, relasi pengarang dengan pembaca dalam majalah berbahasa Jawa, serta yang paling
menarik untuk diperbincangkan adalah spekulasi mengenai masa depan sastra Jawa.
Kemunculan dan Perkembangan Majalah Berbahasa Jawa
Perjalanan sastra Jawa modern yang sudah dimulai sejak abad ke-19 menunjukkan bahwa
perkembangan sastra Jawa modern tidak hanya lewat penerbitan buku, tetapi juga lewat media
massa (majalah). Media massa merupakan salah satu penemuan yang paling gemilang pada masa
pemerintahan Hindia Belanda. Di Jawa, selama abad ke-19, hubungan antara pribumi dengan
bangsa Eropa menyebabkan munculnya beberapa bentuk penulisan karya sastra Jawa yang
berada di luar lingkup sastra tradisional. Salah satu faktor terpenting untuk disebut di sini adalah
kegiatan-kegiatan Instituut voor de Javaansche Taal di Surakarta tahun 1832-1843. Kehadiran
lembaga kolonial tersebut memberikan dampak yang besar terhadap arah perkembangan sastra
Jawa.
Periode transisi atau peralihan dari sastra Jawa klasik ke sastra Jawa modern
mengisyaratkan pergeseran konvensi dari konvensi tradisional menuju konvensi baru dari Barat.
Peralihan ini diawali dengan munculnya karya prosa gubahan C.F. Winter yang disadur dari
karya klasik dalam bentuk tembang. Karya saduran C.F. Winter ini kemudian mengilhami
pengarang-pengarang pribumi untuk menggubah karya dalam bentuk prosa. 4 Muncul prosa baru
yang terlepas dari tradisi sastra klasik dan kelompok pribumi yang dekat dengan pola pikir
Belanda, seperti Ranggawarsita dan Ki Padmasoesastra. Hal ini menjadi perangsang untuk
menyusun karya-karya sastra berisi cerita baru yang terlepas dari kaidah sastra klasik. Misalnya,
4
Sri Widati. Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern Periode Kemerdekaan. (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2001). Hlm 22-23.
Paper for “International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature”
6-7 November 2013 in University of Udayana, Bali
Theme: “Austronesian—Non Austronesian Languages, Literature and Culture, Globalization and Revitalization”
Lampah-lampahnipun Raden Mas Arya Purwa Lelana (1865) oleh R.M.A. Tjandranegara, bupati
Demak dan Randha Guna Wecana (1866) oleh Surya Wijaya, sekretaris Cohen Stuart.
Pada periode tahun 1920-an, poros kesusastraan di tanah air dipegang oleh Balai Pustaka,
sebuah lembaga komisi bacaan rakyat buatan pemerintah Hindia Belanda. Karya-karya sastra
Jawa yang terbit antara 1917-1942 sangat ditentukan oleh sikap penerbit Balai Pustaka. Majalah
berbahasa Jawa yang diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka adalah Kajawen (1926).
Sebelum itu, sejak paruh kedua abad ke-19, telah terbit media massa berbahasa Jawa seperti surat
kabar Bramartani (1855), mingguan Puspitomoncowarni (1855), Retna Dumilah (1895), Darmo
Kondo (1903), Sarotomo (1911), dan seterusnya. Meskipun jumlah surat kabar dan majalah
berbahasa Jawa cukup banyak, hanya beberapa saja yang menyediakan rubrik sastra.
Kajawen diterbitkan tahun 1926-1942, awalnya seminggu sekali, tapi sejak tahun 1938
berubah menjadi dua kali seminggu. Kepala redaksinya adalah Sumantri Harjadibrata. Beberapa
cerita pendek dan puisi yang awal sekali dalam sejarah sastra Jawa modern diterbitkan dalam
majalah ini. Kolom yang sangat populer adalah dialog-dialog antara kedua pelawak Petruk dan
Gareng, yang membicarakan masalah-masalah hangat di tengah masyarakat, yang saat itu ditulis
oleh Harjadibrata sendiri. Sejumlah percakapan ini kemudian dikumpulkan dalam buku berjudul
Obrolanipun Petruk.
Majalah tersebut menggunakan huruf Jawa dan bahasa Jawa krama. Majalah ini sangat
mantap, seakan-akan memberikan arah bagi penerbitan swasta di luar dirinya. Pada tahun 1937,
majalah Kajawen dilengkapi dengan hadirnya dua lampiran independen, yaitu Jagading Wanita
dan Taman Bocah. Di dalam Taman Bocah dan Jagading Wanita, karya sastra cukup mendapat
perhatian. Majalah Jagading Wanita menampilkan beragam cerkak yang cukup menarik.
Paper for “International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature”
6-7 November 2013 in University of Udayana, Bali
Theme: “Austronesian—Non Austronesian Languages, Literature and Culture, Globalization and Revitalization”
Di samping majalah Kajawen, sejumlah majalah non Balai Pustaka juga lahir pada masa
ini, antara lain majalah Panjebar Semangat, Pusaka Surakarta, Swara Tama, dan harian Express.
Majalah Panjebar Semangat dan harian Express memiliki missi tunggal sebagai wahana
penggalangan semangat kebangsaan. Sementara itu, majalah Pusaka Surakarta yang diterbitkan
oleh penerbit Abu Siti Syamsiyah adalah penerbit yang mengemban misi khusus yaitu
penyebaran agama Islam. Adapun, Sedya Tama atau Swara Tama mengemban misi khusus
sebagai sarana penyebaran agama Katolik. Dari beberapa surat kabar dan majalah non Balai
Pustaka tersebut, Panjebar Semangat yang paling banyak memberi kontribusi bagi
perkembangan sastra Jawa.5
Masa pendudukan merupakan masa suram dalam sejarah sastra Jawa modern. Sejak
masuknya Jepang, seluruh terbitan berbahasa daerah dihentikan, lebih-lebih yang berada di
bawah naungan pemerintah, termasuk Kajawen. Ada tiga surat kabar dan majalah berbahasa
Jawa yang dilarang terbit oleh pemerintah Jepang, yaitu Sedya Tama (Yogyakarta), Darma
Kandha (Surakarta), dan Express (Surabaya); serta Kajawen (Jakarta), Panjebar Semangat
(Surabaya), dan Pusaka Surakarta (Surakarta). Hanya ada satu majalah milik pemerintah
kolonial Belanda yang diizinkan terus hidup untuk mengemban misi Jepang, yaitu Panji Pustaka.
Pada masa Jepang, peran majalah Panji Pustaka tidak dapat diabaikan. Majalah ini memiliki
lembaran khusus berbahasa daerah Jawa dan Sunda yang digunakan untuk program propaganda
Jepang kepada rakyat jajahan yang belum pandai berbahasa Indonesia.
Selama tahun 1950-an, Surabaya merupakan tempat penting terbitnya majalah berbahasa
Jawa. Panjebar Semangat, Jaya Baya, Tjrita Tjekak, Kekasihku, dan Tjendrawasih, pernah terbit
5
Sri Widati. Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern Periode Kemerdekaan. (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2001). Hlm 183-186. Hal itu dibuktikan dengan cukup banyak dan bervariasinya rubrik
sastra dalam majalah tersebut, seperti rubrik „Crita Cekak‟ dan „Fuilleton‟ untuk sastra modern dan wayang, sastra
babad, dan tembang macapat, untuk jenis-jenis sastra tradisional.
Paper for “International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature”
6-7 November 2013 in University of Udayana, Bali
Theme: “Austronesian—Non Austronesian Languages, Literature and Culture, Globalization and Revitalization”
di kota tersebut. Keberadaan majalah berbahasa Jawa kadangkala juga ditunjang oleh
pengayoman lembaga-lembaga non-profit. Di Yogyakarta, terbit majalah Praba dan Waspada
yang bertahan hingga tahun 1965; Waspada oleh Komunis dan Praba oleh kalangan Katolik.
Keinginan sejumlah sastrawan Jawa untuk mengembangkan sastra Jawa gagrak anyar muncul
melalui penerbitan Tjrita Tjekak (1957). Namun, Tjrita Tjekak hanya berumur tiga tahun.
Menurut Sapardi Djoko Damono, masyarakat rupanya belum siap menerima sastra Jawa corak
baru semacam itu. Kehadiran majalah khusus cerpen tersebut juga sempat disusul oleh majalah
khusus lain, yaitu Pustaka Roman (1954). Hal itu memicu bangkitnya kelompok pengarang baru,
seperti Isdito, Satim Kadarjono, Senggono, St. Iesmaniasita, Titiek Sukarti, dan lain-lain, di
samping Any Asmara, Soebagijo I.N., dan Poerwadhie Atmodihardjo.6
Dalam majalah Panjebar Semangat, fiksi sebenarnya sudah dimuat sejak tahun 1935, tapi
Panjebar Semangat adalah majalah berita. Dalam majalah berita seperti Panjebar Semangat,
fiksi tidak bermasalah. Ada kesan pembaca membutuhkan fiksi tersebut, bahkan majalah terasa
kurang lengkap tanpa kehadiran fiksi. Tapi, ketika ia dipisahkan dari lingkungannya, yakni
artikel-artikel yang faktual dan aktual, untuk berdiri sendiri di majalah khusus, ia menjadi
“barang aneh” dan tidak dinikmati. Dalam bentuknya sebagai majalah khusus cerkak, Tjerita
Tjekak cenderung terlalu mewah bagi khalayak Jawa umum dan berlimpah antara 7-8 cerkak
setiap nomor.
7
Pada tahun 1971, di Yogyakarta muncul majalah baru, yaitu Djaka Lodhang,
yang memiliki orientasi melestarikan dan mengembangkan bahasa, sastra, dan budaya Jawa.
Selama dasawarsa 1950-an, dalam sastra Indonesia telah terbit majalah kesenian dan
kebudayaan yang lebih banyak dibandingkan dengan dasawarsa mana pun, meskipun majalah6
Tim Peneliti Balai Bahasa Yogyakarta. Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern Periode
Kemerdekaan. (Yogyakarta: Kalika Press, 2001). Hlm 233.
7
Sapardi DjokoDamono. Priayi Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an. (Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya, 2000). Hlm 105.
Paper for “International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature”
6-7 November 2013 in University of Udayana, Bali
Theme: “Austronesian—Non Austronesian Languages, Literature and Culture, Globalization and Revitalization”
majalah itu kebanyakan kemudian tidak berumur panjang. Namun, dibandingkan dengan novel
bahasa Jawa, majalah yang isinya macam-macam lebih menarik bagi pembeli. Pada tahun 1970an boleh dikata tidak ada lagi pembeli buku saku roman panglipur wuyung, padahal pada
puncaknya mereka mampu menjual 10.000 eksemplar ke pasar. Dengan berkurangnya tanggapan
masyarakat terhadap buku saku atau novel berbahasa Jawa, peranan media massa cetak sebagai
alat penyebarluasan karya sastra menjadi penting.
Panjebar Semangat: Saksi Dinamika Majalah Berbahasa Jawa
Panjebar Semangat adalah majalah mingguan berbahasa Jawa yang terbit di Surabaya
sejak tahun 1933. Ketika itu, majalah ini menjadi bacaan kegemaran masyarakat banyak. Pada
tahun 1954, Panjebar Semangat beroplah 22.000 eksemplar, hanya kalah tinggi dibanding
Minggu Pagi, Star Weekly, dan Terang Bulan. Majalah ini perlu mendapatkan perhatian khusus
karena memegang peranan penting dalam perkembangan fiksi berbahasa Jawa tahun 1950-an.
Panjebar Semangat, selain merupakan majalah, juga berusaha di bidang penerbitan buku.
Penerbit ini mengeluarkan seri terbitan, tetapi bukan karya sastra, misalnya Seri Watjan Rakyat,
Seri Bacaan Rakyat yang berupa riwayat para tokoh. Di bawah pimpinan Imam Supardi,
Panjebar Semangat menjadi majalah berbahasa Jawa yang paling berpengaruh dalam tahuntahun sebelum Perang Dunia II.
Dari tahun 1935, majalah ini menerbitkan sejumlah novel dalam bentuk cerita
bersambung yang dapat dibandingkan dengan terbitan Balai Pustaka. Novel-novel tersebut antara
lain, Sri Susinah dengan Sandal Jinjit ing Sekaten Sala (1935) dan Sri Panggung Wayang Wong
(1914), Br. Yudyatma dengan Gumebyar Lir Kencana Sinangling (1939), Anpirasi dengan
Sawabe Ibu Pertiwi (1939), Isbandi Paramayuda dengan Gagak Gaok (1939), Mardanus dengan
Paper for “International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature”
6-7 November 2013 in University of Udayana, Bali
Theme: “Austronesian—Non Austronesian Languages, Literature and Culture, Globalization and Revitalization”
Sawijining Wadi, dan lain sebagainya. Sekitar tahun 1936, genre cerita pendek juga muncul
dalam Panjebar Semangat. Cerkak-cerkak yang dimuat memiliki kecenderungan nasionalisme
dan sebagian besar menggunakan nama samaran. Di samping tema nasionalisme, tema sosial dan
humor juga banyak digarap. Namun, mutu cerpen pada masa ini memang belum terlalu tinggi.
Panjebar Semangat berukuran 20,5 x 29 cm, dengan tebal 20 halaman. Rubrik-rubrik
yang ada sangat beraneka ragam. Di tengah-tengah rubrik-rubrik tersebut, cerita rekaan tampil
dalam majalah Panjebar Semangat. “Crita Cekak” adalah ruang yang relatif muncul teratur
selama dekade 50-an, terutama jika majalah tersebut sedang tidak memuat cerita bersambung.
Majalah ini mula-mula memuat cerita bersambung dalam rubrik „Fuilleton‟, kemudian „Crita
Sesambungan‟, dan terakhir „Crita Sambung Sinambung‟.
Menurut catatan Suripan Sadi Hutomo, majalah tersebut mulai memuat cerita
bersambung sejak terbitnya edisi 44, tahun III, 2 November 1935, dengan judul Sandhal Jinjit
ing Sekaten Solo karya Sri Susinah (nama samaran). Cerita bersambung tersebut merupakan
karya sastra yang mengandung nafas perjuangan bangsa. Setiap tahun, Panjebar Semangat
memuat setidaknya sebuah cerita bersambung yang rata-rata berlangsung 12 nomor; terpendek 6
nomor dan terpanjang 20 nomor. Untuk memenuhi kebutuhan akan cerita bersambung itu,
selama tahun 1950-an, Panjebar Semangat mengadakan beberapa kali sayembara penulisan.
Di samping cerita rekaan, Panjebar Semangat juga memuat puisi, baik tradisional
maupun gagrak anyar. Sastra Jawa modern disajikan berbarengan saja dengan berita aktual di
majalah ini. Damono mengatakan cerita bersambung dari majalah Panjebar Semangat ini
Paper for “International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature”
6-7 November 2013 in University of Udayana, Bali
Theme: “Austronesian—Non Austronesian Languages, Literature and Culture, Globalization and Revitalization”
sebagai “tempat berkembangnya novel Jawa modern, boleh dikatakan satu-satunya tempat
penting di luar Balai Pustaka.”8
Pada masa pendudukan Jepang, majalah ini sempat mengalami pembreidelan. Satusatunya majalah yang masih ada hanyalah Panji Pustaka, yang diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Dari tahun 1943, majalah ini terbit dengan lampiran berbahasa Jawa dan Sunda. Dua orang
penulis muda yang muncul adalah Purwadhie Atmadiharja dan Soebagijo I.N., mereka inilah
yang kemudian mempelopori cerpen sesudah perang. 9 Panjebar Semangat baru kembali terbit
tahun 1949 di bawah pimpinan redaksi Imam Supardi.
Panjebar Semangat sebenarnya bukan satu-satunya majalah berbahasa Jawa pada dekade
tersebut. Selain itu, juga ada majalah Jaya Baya yang mula-mula terbit di Kediri tahun 1945.
Ketika agresi militer Belanda 1947, majalah ini menghentikan penerbitannya, dan muncul
kembali di Surabaya tahun 1949. Majalah ini sempat beralih ke bahasa Indonesia, namun
kemudian kembali ke bahasa Jawa karena tidak kuat bersaing dengan koran berbahasa Indonesia
di Surabaya dan Jakarta.
Pengarang-Pembaca dalam Majalah Bahasa Jawa
Sejak tahun 1950-an, sastra Jawa memasuki masa yang disebut sastra majalah, karena
sebagian besar karya sastra terbit melalui majalah umum berbahasa Jawa. Ketika produksi karya
sastra Jawa mengalami kemandegan, karya-karya ini lahir. Karya-karya tersebut adalah karya
sastra tulis berbahasa Jawa, berbentuk roman, puisi, dan cerpen yang terdapat di majalah
8
Sapardi DjokoDamono. Priayi Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an. (Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya, 2000). Hlm 105.
9
J.J. Ras. Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir. (Jakarta: PT Grafitipers, 1985). Hlm 19.
Paper for “International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature”
6-7 November 2013 in University of Udayana, Bali
Theme: “Austronesian—Non Austronesian Languages, Literature and Culture, Globalization and Revitalization”
berbahasa Jawa. Apalagi sejak awal Orde Baru, majalah atau pers berbahasa Jawa merupakan
wahana yang amat penting untuk penerbitan dan pendistribusian sastra Jawa karena sejak itu
penerbit
novel
semakin
tidak
menunjukkan
partisipasinya
dalam
menerbitkan
dan
menyebarluaskan karya sastra. Hutomo menyebut periode pascatahun 1965 sebagai Periode
Sastra Majalah karena kehidupan sastra Jawa pada masa itu mutlak di bawah kepengayoman
media massa. Peralihan dari tradisi buku ke tradisi majalah –yang semakin mantap pada tahun
1980-an- menunjukkan eksistensi dunia pers menjadi pengayom bagi kehidupan sastra Jawa.10
Di balik kebangkitan kembali majalah dan kehadiran novel-novel tersebut, ada dua
elemen penting yang perlu dicatat, yakni bangkitnya pengarang sebagai pencipta karya sastra dan
dunia penerbitan sebagai lembaga pencetakan dan pendistribusian. 11 Majalah-majalah tersebut
memberikan peranan penting, karena mereka juga membantu para penulis menerbitkan novel. A.
Saerozi misalnya, menerbitkan novel Katresnan lan Kuwajiban (1957), yang awalnya
merupakan cerita bersambung di majalah Panjebar Semangat. Senggana juga menerbitkan novel
dalam Jaya Baya dengan judul Wahyu Saka Kubur (1957).
Sesudah Perang Dunia II, peranan pers semakin signifikan. Pada 1945, mingguan Jaya
Baya terbit di Kediri, Panjebar Semangat yang sempat dihentikan pada masa Jepang juga
muncul kembali tahun 1949. Mekar Sari terbit di Yogya dari tahun 1957. Di samping itu, muncul
majalah-majalah lain dengan oplah yang lebih kecil, di antaranya Waspada (Yogyakarta, 1952),
Tjrita Tjekak (Surabaya, 1955), Gotong Royong (Surabaya, 1963), Candra Kirana (Surabaya,
1964), dan Tjendrawasih (Surabaya 1957). Melalui majalah-majalah inilah, karya-karya penulis
Jawa sampai pada pembacanya.
10
Tim Peneliti Balai Bahasa Yogyakarta. Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern Periode
Kemerdekaan. (Yogyakarta: Kalika Press, 2001). Hlm 412.
11
Ibid. Hlm 409.
Paper for “International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature”
6-7 November 2013 in University of Udayana, Bali
Theme: “Austronesian—Non Austronesian Languages, Literature and Culture, Globalization and Revitalization”
Kejayaan majalah berbahasa Jawa sempat diselingi dengan ledakan karya roman
penglipur wuyung atau roman picisan pada tahun 1960-an. Penulis yang terkenal pada masa itu
adalah Any Asmara, yang menghasilkan sekitar seratus buku saku. Roman penglipur wuyung ini
adalah buku kecil ukuran buku saku, yang umumnya buruk kualitas cetakannya dan dijual
dengan harga yang murah. Isinya kerapkali berkisar pada masalah percintaan. Damono menyebut
sastra populer ini sebagai sastra pelarian, tempat pembaca berusaha menghindarkan diri dari
segala sesuatu dalam kehidupan sehari-hari yang digolongkan sebagai keburukan.12
Banyak pihak yang menanggapi masa kejayaan roman panglipur wuyung ini dengan nada
negatif. Suparto Brata mengatakan, sejak waktu itu, 1966, dunia sastra Jawa seperti mati tegak.
Tidak ada pembaca dan penerbit. Pelanggan majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat dan
Jaya Baya merosot tajam. Panjebar Semangat yang pernah mencapai oplah 80.000 eksemplar
pada tahun 1960-an, merosot menjadi kurang dari 10.000 eksemplar tiap terbit. Masyarakat
merasa jenuh dan muak dengan buku-buku saku yang berisi cerita cabul. 13 Kualitas buku-buku
saku panglipur wuyung tersebut banyak yang perlu dikritisi.
Ketika gejala ini menyurut kembali, bermunculan majalah-majalah berbahasa Jawa di
luar Surabaya. Di samping majalah yang telah ada, muncul majalah-majalah baru seperti
Kembang Brayan (Yogyakarta 1966), Djaka Lodhang (Yogyakarta 1967), Kunthi (Jakarta,
1969), Dharma Kanda (Surakarta 1970), Dharma Nyata (Surakarta 1971), Parikesit (Surakarta
1971), dan Kumandang (Jakarta 1973). Menurut J.J. Ras, majalah-majalah inilah yang
mengalihkan perhatian pembaca dari penerbitan buku saku ke penerbitan buku lain. Ia juga
12
Sapardi DjokoDamono. Priayi Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an. (Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya, 2000). Hlm 227. Dalam sejarah sastra Indonesia juga pernah terjadi ledakan novel populer, yang
diawali oleh kemunculan novel-novel Motinggo Busye. Antara tahun 1967 sampai 1970, berkembanglah novelnovel saku yang mengepigoni novel Motinggo Busye.
13
Suparto Brata. Jatuh Bangun Bersama Sastra Jawa. (Jakarta: Proyek Penulisan dan Penerbitan
Buku/Majalah Pengetahuan Umum dan Profesi Depdikbud, 1981).Hlm 68.
Paper for “International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature”
6-7 November 2013 in University of Udayana, Bali
Theme: “Austronesian—Non Austronesian Languages, Literature and Culture, Globalization and Revitalization”
berpendapat bahwa bagi masyarakat Jawa, membeli majalah lebih menguntungkan daripada
membeli buku saku yang hanya berisi satu cerita. Orang Jawa membeli majalah juga sebagian
tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk kalangan sekitarnya.
Suparto Brata (dalam “Sastra Jawa Dahulu, Kemarin, Kini, dan Lusa”, Jawa Pos 1
Agustus 1993), menyebutkan pada awal tahun 1960-an, pers berbahasa Jawa pernah menduduki
posisi paling depan yang diwakili oleh Panjebar Semangat. Pada waktu itu, Panjebar Semangat
mampu mencapai oplah 80.000 eks per minggu, sementara harian berbahasa Indonesia hanya
20.000 dan majalahnya hanya sekitar 7000 per minggu. Jumlah pembaca sastra Jawa modern ini
tergambar sesuai dengan jumlah penerbitan dan distribusi majalah berbahasa Jawa. Pada tahun
1960-an, Panjebar Semangat mencapai oplah sebesar 85.000. Namun, pada tahun 1868,
oplahnya menurun menjadi 22.000, dan meningkat lagi menjadi 35.000 eks pada tahun 1974.
Hal itu menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun, jumlah pembaca majalah berbahasa
Jawa tidak pernah stabil, bahkan ada kecenderungan semakin menurun. Pembaca sastra Jawa
modern lebih banyak didominasi oleh pembaca umum bukan pembaca sastra serius, sesuai
dengan penyebarannya yang „menebeng‟ pada majalah umum. Beberapa majalah khusus sastra
Jawa seperti Tjrita Tjekak, Pustaka Roman, dan Kekasihku, eksistensinya tidak berlangsung
lama. Kenyataan lain bahwa pembaca sastra Jawa modern adalah masyarakat umum dapat
dibuktikan melalui adanya berbagai rubrik di majalah-majalah tersebut yang terkait dengan
masalah-masalah umum, misalnya kewanitaan, kebudayaan, budi pekerti, kesehatan, pertanian,
hingga politik. Rubrik sastra hanya menempati 20% dari jumlah rubrik yang ada. 14 Di sisi lain,
14
Tim Peneliti Balai Bahasa Yogyakarta. Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern Periode
Kemerdekaan. (Yogyakarta: Kalika Press, 2001). Hlm 174.
Paper for “International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature”
6-7 November 2013 in University of Udayana, Bali
Theme: “Austronesian—Non Austronesian Languages, Literature and Culture, Globalization and Revitalization”
regenerasi penulis karya sastra Jawa juga tidak berlangsung dengan baik. Banyak generasi muda
suku Jawa yang tidak bisa berbahasa Jawa.
Perkembangan tema karya sastra di majalah berbahasa Jawa sangat dipengaruhi oleh
keadaan sosial masyarakat. Tema-tema yang berkembang saat ini bukan saja berkisar pada
masalah keraton-ksatria, tetapi juga permasalahan sosial yang aktual bagi masyarakat. Djaka
Lodhang No. 34, Taun XLII Januari 2013 misalnya, memuat salah satu cerkak yang berjudul
“Gandrung Facebook” karya Gayuh R. Saputro. J.J. Ras dalam antologi bunga rampai sastra
Jawa modern yang disusunnya memperlihatkan kompleksitas tema dalam karya-karya sastra
Jawa, mulai dari tema perjuangan kemerdekaan, pergeseran nilai-nilai kemasyarakatan dan
susila, masalah pemilihan jodoh dan hidup berumah tangga, pertentangan antara kehidupan kota
dan kehidupan desa, derita kaum urban, masalah kejahatan, pelacuran, dan perjudian.
Masa Depan Sastra Jawa
Saat ini, praktis hanya ada tiga majalah berbahasa Jawa yang eksis, yaitu Panjebar
Semangat, Jayabaya, dan Djaka Lodhang. Jumlah itu ditambah dengan beberapa surat kabar
yang menyisipkan suplemen berbahasa Jawa dalam terbitan setiap minggunya, seperti suplemen
mingguan empat halaman berbahasa Jawa di harian Solo Pos yang bernama Jagad Jawa, rubrik
khusus berbahasa Jawa di harian Kedaulatan Rakyat yang bernama Mekarsari dan rubrik khusus
berbahasa Jawa di harian Suara Merdeka yang bernama Sang Pamomong. Selain itu, sebenarnya
ada juga media berbahasa Jawa kelas media internal yang diterbitkan dan dikelola oleh
komunitas tertentu. Di Solo, terdapat mBangun Tuwuh, sebuah majalah berbahasa Jawa yang
dikelola oleh trah Mangkunegaran dengan pelanggan di seluruh pelosok Nusantara.
Paper for “International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature”
6-7 November 2013 in University of Udayana, Bali
Theme: “Austronesian—Non Austronesian Languages, Literature and Culture, Globalization and Revitalization”
Ada semacam lingkaran yang menyebabkan terpuruknya sastra Jawa. Lingkaran tersebut
disebabkan oleh relasi pembaca-pengarang-penerbit. Sastra Jawa sejak tahun 1950-an pada
dasarnya adalah sastra majalah, hanya sejumlah kecil novel dan bunga rampai cerita pendek dan
sajak diterbitkan dalam bentuk buku. Ketika pada tahun 1960-an sastra majalah Jawa mulai
tumbuh lagi, pada waktu itu kedudukan bahasa Indonesia sudah menguat di tengah masyarakat.
Sejak tahun 1950-an, semua sastrawan Jawa bisa dibilang adalah dwibahasawan, beberapa
bahkan menulis dalam dua bahasa sekaligus.
Banyak pengarang Jawa yang menulis prosa dan puisi cenderung memilih medium
bahasa nasional dibandingkan bahasa Jawa.15 Tidak ada majalah yang baru terbit pasca 1966 bisa
menjadi besar seperti Panjebar Semangat, bahkan untuk bertahan cukup lama pun tidak mampu.
Para penulisnya menyeberang ke bahasa Indonesia seorang demi seorang. Apresiasi terhadap
penulis sastra Jawa tidak sebanding dengan perjuangan mereka menulis dalam bahasa Jawa.
Rendahnya honorarium tersebut juga disebabkan oleh sedikitnya daya jual majalah, sebagai
akibat dari minimnya pembaca sastra Jawa.
Orientasi hidup menjadi warga negara Indonesia, yang mengutamakan bahasa tutur dan
bahasa ekspresi dengan bahasa Indonesia, secara langsung mengendorkan intensitas dan greget
mengembangkan kehidupan sastra Jawa modern. 16 Sejak tahun 1970-an perpindahan perhatian
pengarang dari sastra Jawa ke sastra Indonesia semakin jelas. Hal itu menimbulkan kekhawatiran
bagi sejumlah kalangan. Arswendo misalnya, yang menulis “Kalaupun Sastra Jawa Berakhir,
Farida Soemargono. “Sastrawan Malioboro” 1945-1960 Dunia Jawa dalam Kesusastraan Indonesia.
(Mataram: Penerbit Lengge, 2004). Buku ini menyinggung masuknya unsur budaya Jawa dalam sastra Indonesia,
dan para penulis Jawa yang beralih ke bahasa Indonesia, seperti Sri Murtono, D. Suradji, Subagio Sastrowardoyo,
Kirjomulyo, dan W.S. Rendra.
16
Linus Suryadi AG. “Pengarang Sastra Jawa Modern dan Tantangannya”, dalam kumpulan karangan Dari
Pujangga ke Pengarang Jawa. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995). Hlm 52.
Paper for “International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature”
6-7 November 2013 in University of Udayana, Bali
Theme: “Austronesian—Non Austronesian Languages, Literature and Culture, Globalization and Revitalization”
15
Apa Salahnya?” (Kompas 31 Maret 1975), menyindir dengan tajam bahwa sastra Jawa kini
hanya hidup di dalam sarasehan.17
Tersisihnya karya sastra Jawa modern tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang
menekankan peningkatan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Kebijakan
tersebut menyebabkan semakin terpuruknya posisi bahasa Jawa, seperti yang diungkapkan oleh
Siswamartana melalui sajak “Nangis Nglolo” (Medan Bahasa Basa Jawi, No. 12, tahun III,
1958), //Genea kowe bahasa Jawa/Dhek sewu taunan kepungkur/Kondhang kombul kawentar
kasuwur/Saiki surem tanpa cahaya//.
Sementara itu, problem sastra Jawa modern juga berada pada identitas atau corak
kesusastraannya sendiri. Karya sastra Jawa modern terjepit di antara karya sastra Indonesia dan
khazanah budaya dan sastra Jawa klasik. 18 Ada kesan yang kuat bahwa sejak pertumbuhannya,
sastra Jawa modern berada di bawah bayang-bayang sastra Jawa klasik, terutama yang berakar di
keraton. Di samping itu, ia juga berada di bawah bayangan sastra Indonesia modern yang tumbuh
pada waktu yang bersamaan. Sastra Jawa modern tidak lagi dilindungi oleh kerajaan atau
penguasa. Perhatian terhadap sastra ini terbatas pada sekelompok kecil masyarakat suku Jawa
saja. Etos kerja yang begitu terbayang-bayangi oleh prestasi pujangga Jawa Kuno dan Jawa
Madya, tapi tidak menangkap spirit yang memungkinkan mereka sanggup melahirkan karyakarya sastra monumental, pada gilirannya akan menjerat keberadaannya.
Di samping itu, resepsi masyarakat terhadap karya sastra Jawa tidak terlalu
menggembirakan. Para pelanggan majalah berbahasa Jawa kebanyakan adalah orang-orang tua
17
Sapardi Djoko Damono. Priayi Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an. (Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya, 2000). Hlm 397.
18
Ibid. Hlm 1. Lihat juga Linus Suryadi AG. “Pengarang Sastra Jawa Modern dan Tantangannya”, dalam
kumpulan karangan Dari Pujangga ke Pengarang Jawa. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995). Hlm 55.
Paper for “International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature”
6-7 November 2013 in University of Udayana, Bali
Theme: “Austronesian—Non Austronesian Languages, Literature and Culture, Globalization and Revitalization”
dan instansi yang berkepentingan seperti Perpustakaan Daerah dan Balai Bahasa. Jarang
ditemukan anak muda yang berlangganan majalah berbahasa Jawa, bahkan banyak kalangan
„generasi facebook’ tersebut yang tidak mengenal majalah berbahasa Jawa. Hal itu setali tiga
uang dengan masalah pengembangan dan pelestarian bahasa Jawa. Tidak sedikit generasi muda
suku Jawa yang tidak lagi bisa berbahasa Jawa. Jika untuk memahami bahasa Jawa saja mereka
kesulitan, apalagi untuk membaca karya sastra Jawa.
Rendahnya tingkat baca masyarakat terhadap karya sastra Jawa, pada gilirannya
menyebabkan seretnya industri penerbitan dan percetakan sastra Jawa. Novel Jawa tidak dapat
bersaing dengan novel berbahasa Indonesia, baik secara kualitas maupun kuantitas. Tidak adanya
penerbit yang mau menerbitkan sastra Jawa, sebagian besar karena alasan ekonomi. Menurut
Sapardi Djoko Damono, potensi yang ada dalam bahasa Jawa mungkin sekali bisa terwujud
dalam karya sastra seandainya sastra Jawa memiliki majalah terbatas seperti halnya sastra
Indonesia. 19 Sebelum perang, sastra Indonesia memiliki majalah Poedjangga Baroe yang
meskipun hanya beberapa ratus eksemplar saja, tapi pengaruhnya terhadap perkembangan sastra
Indonesia sangat besar.
Sesudah perang, tradisi itu diteruskan dengan majalah-majalah seperti Konfrontasi,
Indonesia, dan Zenith. Dalam majalah-majalah itulah, tumbuh kritik sastra, suatu kegiatan yang
membuktikan adanya minat yang sungguh-sungguh terhadap perkembangan sastra modern.
Sebaliknya, dalam perkembangan sastra Jawa modern, hal semacam itu boleh dikatakan tidak
terjadi. Tidak ada usaha sungguh-sungguh untuk mengusahakan majalah terbatas, dan bahkan
usaha untuk membuat ruangan khusus di majalah umum pun ternyata tidak dilakukan. Dalam
19
Sapardi Djoko Damono. Priayi Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an. (Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya, 2000). Hlm 403.
Paper for “International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature”
6-7 November 2013 in University of Udayana, Bali
Theme: “Austronesian—Non Austronesian Languages, Literature and Culture, Globalization and Revitalization”
situasi demikian, kemungkinan munculnya kritik sastra kecil sekali. Masalah kritik sastra
merupakan masalah yang penting diperhatikan. Sastra Jawa modern, termasuk yang berada di
majalah bahasa Jawa, hampir-hampir tanpa kritik. Latar belakang sejarah sastra Jawa sendiri,
rupanya menjadi penyebab utama kelangkaan esai dan kritik karea dalam khazanah sastra Jawa
kuno dan Jawa Madya tidak dikenal esai dan kritik sastra.20 Tanpa kritik sastra berarti tidak ada
perhatian yang sungguh-sungguh terhadap perkembangan sastra Jawa modern.
Sementara itu, Suparto Brata menulis bahwa “untuk mati, sastra Jawa baru kira-kira
memang sulit. Selama orang masih mempergunakan bahasa Jawa, maka pengarang Jawa masih
akan bermunculan dan akan menemukan penggemarnya. Apalagi bertambahnya orang Jawa
sekarang diikuti dengan bertambahnya orang Jawa yang bisa membaca dan menulis. Sayangnya,
bahasa Jawa sekarang tidak terpelihara.”21
Penutup
Sastra Jawa merupakan sebuah ranah kajian yang sangat kompleks, mengingat perjalanan
tradisi kesuasastraan ini pun sudah berumur ratusan tahun. Selama masa tersebut, sastra Jawa
terus mengalami dinamika yang berhubungan dengan kondisi sosio-politik dan kultural
masyarakat pendukungnya. Pada masanya, sastra Jawa pernah mencapai titik kejayaan dan
mendapatkan perlindungan di bawah supremasi kerajaan. Namun kini di era modern, sastra Jawa
20
Linus Suryadi AG. Dari Pujangga ke Pengarang Jawa. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995). Hlm 9.
Esmiet dalam tulisan “Sastra lan Basa Jawa Kapiji dening Kasusastran Indonesia” (Mekar Sari, 1-15 Januari 1985),
juga menyinggung masalah kritik sastra ini sebagai faktor penyebab kurang berkembangnya sastra Jawa, selain
masalah kurang penerbit, kualitas pengarang, dan kurangnya alat komunikasi.
21
Suparto Brata. Jatuh Bangun Bersama Sastra Jawa. (Jakarta: Proyek Penulisan dan Penerbitan
Buku/Majalah Pengetahuan Umum dan Profesi Depdikbud, 1981). Hlm 114. Ia menyatakan bahwa sastra Jawa
membutuhkan pupuk yang cukup mahal harganya, yaitu diubahnya politik pengajaran bahasa daerah. Sastra Jawa
tidak akan hidup subur kalau hanya dibiarkan hidup sebagaimana kemampuan penggemarnya. Ada tiga motor
penggerak kegiatan sastra Jawa, yaitu daya, dana, dan politik bahasa.
Paper for “International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature”
6-7 November 2013 in University of Udayana, Bali
Theme: “Austronesian—Non Austronesian Languages, Literature and Culture, Globalization and Revitalization”
mengalami titik balik yang drastis. Proses produksi karya sastra Jawa tinggal dilakukan oleh
segelintir orang. Jika melihat kondisi sastra Jawa saat ini, nyaris tidak dapat dipercayai bahwa
sastra Jawa pernah melahirkan karya-karya besar dan para pujangga yang termahsyur.
Pada masa ketika tradisi sastra Jawa mencapai titik balik, majalah-majalah berbahasa
Jawa hadir untuk mempertahankan eksistensi sastra Jawa. Keberadaan majalah-majalah tersebut
merupakan angin segar bagi upaya pelestarian sastra Jawa. Penulis merasa bahwa makalah ini
masih sangat dangkal dan superfisial dalam membahas peranan majalah berbahasa Jawa. Oleh
karena itu, penelitian-penelitian lainnya mengenai peranan majalah berbahasa Jawa dalam upaya
pelestarian sastra Jawa perlu dilakukan. Perkembangan tema, bahasa, dan resepsi pembaca
terhadap majalah berbahasa Jawa, merupakan beberapa tema menarik yang dapat diteliti. Dengan
adanya penelitian-penelitian semacam itu, diharapkan dapat menambah khazanah keilmuan
sastra Jawa yang kini mulai mundur dari gelanggang.
Paper for “International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature”
6-7 November 2013 in University of Udayana, Bali
Theme: “Austronesian—Non Austronesian Languages, Literature and Culture, Globalization and Revitalization”
Daftar Pustaka
Anderson, Benedict R. O‟G.. 1996. “Sembah-Sumpah: The Politics of Language and Javanese
Culture” dalam Latif, Yudi dan Idi Subandy Ibrahim (ed.). Bahasa dan Kekuasaan: Politik
Wacana di Panggung Orde Baru. Bandung: Mizan.
Brata, Suparto. 1981. Jatuh Bangun Bersama Sastra Jawa. Jakarta: Proyek Penulisan dan
Penerbitan Buku/Majalah Pengetahuan Umum dan Profesi Depdikbud.
Damono, Sapardi Djoko. 2000. Priayi Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an. Yogyakarta:
Yayasan Bentang Budaya.
Ras, J.J. 1985. Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir. Jakarta: PT Grafitipers.
Soemargono, Farida. 2004. “Sastrawan Malioboro” 1945-1960 Dunia Jawa
Kesusastraan Indonesia. Mataram: Penerbit Lengge.
dalam
Suryadi AG, Linus. 1995. Dari Pujangga ke Pengarang Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tim Peneliti Balai Bahasa Yogyakarta. 2001. Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern
Periode Kemerdekaan. Yogyakarta: Kalika Press.
Widati, Sri, dkk. 2001. Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern Periode Kemerdekaan.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Zoetmulder, P.J. 1985. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Penerbit
Djambatan.
Djaka Lodhang, edisi Sabtu Pon, No. 34 Taun XLII 19 Januari 2013.
Sumber Sekunder
Asrori, Muhammad. Menyoal Sastra Jawa, Membincang Jaya Baya, dalam
http://warungfiksi.net/menyoal-sastra-Jawa-membincang-jaya-baya/, diunduh pada 11
Oktober 2012 pkul 21.44.
Paper for “International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature”
6-7 November 2013 in University of Udayana, Bali
Theme: “Austronesian—Non Austronesian Languages, Literature and Culture, Globalization and Revitalization”