Academia.eduAcademia.edu

Perkembangan Majalah Berbahasa Jawa dalam Pelestarian Sastra Jawa

Abstract

Javanese language is one of the most widely spread of Austronesian language after the Malay language. As a language which is rich of vocabulary and has been used for thousands of years, the Java language is also the language of literature. Javanese literature has survived for thousands of years. However, in this globalization era, the production of Javanese literature meets an incredible deterioration. Anderson (1996:265) imagines that there is a sort of black hole in Javanese literary tradition. There is a literary tradition that can be traced back over a thousand years recede, as old as the English and French literature. Currently, one of the preservation media remaining Javanese literature and productive is the Java language magazine. Java language newspapers, novels, and books are no longer active written by the Javanese authors. The role of Java language magazine deserves its own share of research on Javanese literature.

Key takeaways

  • Periode Sastra Majalah (1966-sekarang).
  • Ketika sastra Jawa dalam bentuk novel, babad, ataupun serat sudah tidak aktif diproduksi lagi, kehadiran majalah berbahasa Jawa menjadi ujung tombak pelestarian sastra Jawa.
  • Perjalanan sastra Jawa modern yang sudah dimulai sejak abad ke-19 menunjukkan bahwa perkembangan sastra Jawa modern tidak hanya lewat penerbitan buku, tetapi juga lewat media massa (majalah).
  • Sejak tahun 1950-an, sastra Jawa memasuki masa yang disebut sastra majalah, karena sebagian besar karya sastra terbit melalui majalah umum berbahasa Jawa.
  • Sastra Jawa sejak tahun 1950-an pada dasarnya adalah sastra majalah, hanya sejumlah kecil novel dan bunga rampai cerita pendek dan sajak diterbitkan dalam bentuk buku.
PERKEMBANGAN MAJALAH BERBAHASA JAWA DALAM PELESTARIAN SASTRA JAWA Kabul Astuti Universitas Muhammadiyah Surakarta [email protected] ABSTRACT Javanese language is one of the most widely spread of Austronesian language after the Malay language. As a language which is rich of vocabulary and has been used for thousands of years, the Java language is also the language of literature. Javanese literature has survived for thousands of years. However, in this globalization era, the production of Javanese literature meets an incredible deterioration. Anderson (1996:265) imagines that there is a sort of black hole in Javanese literary tradition. There is a literary tradition that can be traced back over a thousand years recede, as old as the English and French literature. Currently, one of the preservation media remaining Javanese literature and productive is the Java language magazine. Java language newspapers, novels, and books are no longer active written by the Javanese authors. The role of Java language magazine deserves its own share of research on Javanese literature. A number of issues that arise in Javanese literature in the magazine ranged between the author regeneration, literary theme development along with the development of rapid modernization, reader reception, until the effectiveness of the Java language magazine in the preservation of Javanese literature. Nowadays, a lot of writers who speak Javanese as their mother tongue prefers to use Indonesian language. The circulation of Java language magazine is also more limited, along with the reduction in the Java language speakers. Most of the Java language magazine subscribers are old people and institutions who are interested in the preservation of the Java language like English or Regional Library Board. The above problems have been revealed briefly about conditions, the potential, and also challenges in the preservation of Javanese literature. This study aims to describe the development of the Java language magazine in promoting preservation of Javanese literature. The writer uses observation and study of literature as the research method. First, this study will look at the development of Javanese literature in general. Then, by zoom in, the research will be focused on the role of magazine in the development of the Javanese literature which is already so old. Finally, the research will be elaborated on the contributions, challenges, and alternatives to encounter the challenges faced by the Java language magazine. Thus, the results of this study are expected to provide another view in increasing preservation of Javanese literature. Keywords : Javanese literature, Javanese magazine, Panjebar Semangat Paper for “International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature” 6-7 November 2013 in University of Udayana, Bali Theme: “Austronesian—Non Austronesian Languages, Literature and Culture, Globalization and Revitalization” Pendahuluan Sastra Jawa merupakan sebuah lahan kajian yang rumit dan sangat menarik, baik ditinjau dari segi isi maupun dalam konteks “pengarang-sidang pembaca” atau “produsen-konsumen”, terutama karena masyarakat Jawa telah mengalami perubahan-perubahan penting sejak permulaan abad 20. Sastra Jawa, pada hakikatnya adalah sastra yang telah memiliki tradisi masa lalu yang sangat mapan, kuat, dan terpelihara oleh sistem yang kuat yaitu sistem sastra kerajaan. Karya-karya besar seperti Negarakertagama karangan Mpu Prapanca, Sutasoma, Arjunawiwaha, Bhomantaka lahir di istana. Tradisi kepenulisan sastra Jawa berpusat di keraton dan dilakukan oleh para pujangga kerajaan. Oleh karena, tidak dapat dinafikan adanya hubungan erat antara pujangga dengan raja sebagai pelindung kegiatan sastranya. Kakawin Hariwangsa karya Mpu Panuluh misalnya, ditujukan kepada Dewa Wisnu dan raja Jayabaya, yang dianggap sebagai titisan Wisnu. Kepada raja atau salah seorang anggota keluarga raja, para pujangga mempersembahkan karyanya. Menurut Mpu Panuluh, syair itu sekurang-kurangnya “dapat membantu agar sang raja makin tak terkalahkan dan dunia makin sejahtera.”1 Namun, dalam era globalisasi ini, produksi sastra Jawa mengalami kemunduran yang luar biasa. Anderson2 membayangkan ada semacam lubang hitam bagi tradisi sastra Jawa. Ada suatu tradisi sastra yang bisa dilacak surut seribu tahun lebih, setua karya sastra Inggris dan Perancis. Sastra Jawa tertulis seperti yang ada di tengah-tengah masyarakat sekarang ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu sastra tradisional yang terikat oleh patokan-patokan yang ditaati turun 1 Tentang hubungan antara penyair dengan raja sebagai pelindungnya, lihat P.J. Zoetmulder. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1985). Hlm 194. 2 Anderson, Benedict R. O‟G.. 1996. “Sembah-Sumpah: The Politics of Language and Javanese Culture” dalam Latif, Yudi dan Idi Subandy Ibrahim (ed.). Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru. Bandung: Mizan. Hlm 268. Paper for “International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature” 6-7 November 2013 in University of Udayana, Bali Theme: “Austronesian—Non Austronesian Languages, Literature and Culture, Globalization and Revitalization” temurun dari generasi ke generasi, dan sastra modern yang merupakan hasil rangsangan kreatif dalam masyarakat modern. 3 Sastra jenis kedua tersebut biasa disebut dengan istilah sastra Jawa gagrak anyar atau sastra Jawa modern. Suripan Sadi Hutomo, dalam “Periodisasi Kesusastraan Jawa Gagrag Anyar” (Jaya Baya, No. 22 Januari 1972) membagi sejarah sastra Jawa modern menjadi tiga, yaitu sebagai berikut. 1. Periode Balai Pustaka (1920-1945), pada periode ini genre novel diutamakan. 2. Periode Perkembangan Bebas (1945-1966). Di samping novel, cerita pendek dan puisi juga dikembangkan. Perkembangan sastra masa ini didukung oleh tiga generasi penulis; a. Angkatan kasepuhan (sebelum tahun 1945) b. Angkatan perintis (tahun 1945) c. Angkatan penerus (pasca 1960-an) 3. Periode Sastra Majalah (1966-sekarang). Ledakan roman penglipur wuyung diikuti oleh peranan majalah-majalah berbahasa Jawa menjadi saluran publikasi sastra Jawa terpenting. Media massa yang sangat berperan dalam penyebaran dan pengenalan sastra Jawa tersebut antara lain Kajawen, Panjebar Semangat, Jaya Baya, Swara Tama, dan Pusaka Surakarta. Beberapa majalah itu berjasa dalam menyebarluaskan cerita pendek Jawa, cerita bersambung, dan geguritan. Ketika sastra Jawa dalam bentuk novel, babad, ataupun serat sudah tidak aktif diproduksi lagi, kehadiran majalah berbahasa Jawa menjadi ujung tombak pelestarian sastra Jawa. Dalam makalah ini, diuraikan mengenai kemunculan dan perkembangan majalah berbahasa Jawa, kiprah Panjebar Semangat sebagai majalah berbahasa Jawa tertua yang masih 3 J.J. Ras. Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir. (Jakarta: PT Grafitipers, 1985). Hlm 3. Paper for “International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature” 6-7 November 2013 in University of Udayana, Bali Theme: “Austronesian—Non Austronesian Languages, Literature and Culture, Globalization and Revitalization” bertahan, relasi pengarang dengan pembaca dalam majalah berbahasa Jawa, serta yang paling menarik untuk diperbincangkan adalah spekulasi mengenai masa depan sastra Jawa. Kemunculan dan Perkembangan Majalah Berbahasa Jawa Perjalanan sastra Jawa modern yang sudah dimulai sejak abad ke-19 menunjukkan bahwa perkembangan sastra Jawa modern tidak hanya lewat penerbitan buku, tetapi juga lewat media massa (majalah). Media massa merupakan salah satu penemuan yang paling gemilang pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Di Jawa, selama abad ke-19, hubungan antara pribumi dengan bangsa Eropa menyebabkan munculnya beberapa bentuk penulisan karya sastra Jawa yang berada di luar lingkup sastra tradisional. Salah satu faktor terpenting untuk disebut di sini adalah kegiatan-kegiatan Instituut voor de Javaansche Taal di Surakarta tahun 1832-1843. Kehadiran lembaga kolonial tersebut memberikan dampak yang besar terhadap arah perkembangan sastra Jawa. Periode transisi atau peralihan dari sastra Jawa klasik ke sastra Jawa modern mengisyaratkan pergeseran konvensi dari konvensi tradisional menuju konvensi baru dari Barat. Peralihan ini diawali dengan munculnya karya prosa gubahan C.F. Winter yang disadur dari karya klasik dalam bentuk tembang. Karya saduran C.F. Winter ini kemudian mengilhami pengarang-pengarang pribumi untuk menggubah karya dalam bentuk prosa. 4 Muncul prosa baru yang terlepas dari tradisi sastra klasik dan kelompok pribumi yang dekat dengan pola pikir Belanda, seperti Ranggawarsita dan Ki Padmasoesastra. Hal ini menjadi perangsang untuk menyusun karya-karya sastra berisi cerita baru yang terlepas dari kaidah sastra klasik. Misalnya, 4 Sri Widati. Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern Periode Kemerdekaan. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2001). Hlm 22-23. Paper for “International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature” 6-7 November 2013 in University of Udayana, Bali Theme: “Austronesian—Non Austronesian Languages, Literature and Culture, Globalization and Revitalization” Lampah-lampahnipun Raden Mas Arya Purwa Lelana (1865) oleh R.M.A. Tjandranegara, bupati Demak dan Randha Guna Wecana (1866) oleh Surya Wijaya, sekretaris Cohen Stuart. Pada periode tahun 1920-an, poros kesusastraan di tanah air dipegang oleh Balai Pustaka, sebuah lembaga komisi bacaan rakyat buatan pemerintah Hindia Belanda. Karya-karya sastra Jawa yang terbit antara 1917-1942 sangat ditentukan oleh sikap penerbit Balai Pustaka. Majalah berbahasa Jawa yang diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka adalah Kajawen (1926). Sebelum itu, sejak paruh kedua abad ke-19, telah terbit media massa berbahasa Jawa seperti surat kabar Bramartani (1855), mingguan Puspitomoncowarni (1855), Retna Dumilah (1895), Darmo Kondo (1903), Sarotomo (1911), dan seterusnya. Meskipun jumlah surat kabar dan majalah berbahasa Jawa cukup banyak, hanya beberapa saja yang menyediakan rubrik sastra. Kajawen diterbitkan tahun 1926-1942, awalnya seminggu sekali, tapi sejak tahun 1938 berubah menjadi dua kali seminggu. Kepala redaksinya adalah Sumantri Harjadibrata. Beberapa cerita pendek dan puisi yang awal sekali dalam sejarah sastra Jawa modern diterbitkan dalam majalah ini. Kolom yang sangat populer adalah dialog-dialog antara kedua pelawak Petruk dan Gareng, yang membicarakan masalah-masalah hangat di tengah masyarakat, yang saat itu ditulis oleh Harjadibrata sendiri. Sejumlah percakapan ini kemudian dikumpulkan dalam buku berjudul Obrolanipun Petruk. Majalah tersebut menggunakan huruf Jawa dan bahasa Jawa krama. Majalah ini sangat mantap, seakan-akan memberikan arah bagi penerbitan swasta di luar dirinya. Pada tahun 1937, majalah Kajawen dilengkapi dengan hadirnya dua lampiran independen, yaitu Jagading Wanita dan Taman Bocah. Di dalam Taman Bocah dan Jagading Wanita, karya sastra cukup mendapat perhatian. Majalah Jagading Wanita menampilkan beragam cerkak yang cukup menarik. Paper for “International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature” 6-7 November 2013 in University of Udayana, Bali Theme: “Austronesian—Non Austronesian Languages, Literature and Culture, Globalization and Revitalization” Di samping majalah Kajawen, sejumlah majalah non Balai Pustaka juga lahir pada masa ini, antara lain majalah Panjebar Semangat, Pusaka Surakarta, Swara Tama, dan harian Express. Majalah Panjebar Semangat dan harian Express memiliki missi tunggal sebagai wahana penggalangan semangat kebangsaan. Sementara itu, majalah Pusaka Surakarta yang diterbitkan oleh penerbit Abu Siti Syamsiyah adalah penerbit yang mengemban misi khusus yaitu penyebaran agama Islam. Adapun, Sedya Tama atau Swara Tama mengemban misi khusus sebagai sarana penyebaran agama Katolik. Dari beberapa surat kabar dan majalah non Balai Pustaka tersebut, Panjebar Semangat yang paling banyak memberi kontribusi bagi perkembangan sastra Jawa.5 Masa pendudukan merupakan masa suram dalam sejarah sastra Jawa modern. Sejak masuknya Jepang, seluruh terbitan berbahasa daerah dihentikan, lebih-lebih yang berada di bawah naungan pemerintah, termasuk Kajawen. Ada tiga surat kabar dan majalah berbahasa Jawa yang dilarang terbit oleh pemerintah Jepang, yaitu Sedya Tama (Yogyakarta), Darma Kandha (Surakarta), dan Express (Surabaya); serta Kajawen (Jakarta), Panjebar Semangat (Surabaya), dan Pusaka Surakarta (Surakarta). Hanya ada satu majalah milik pemerintah kolonial Belanda yang diizinkan terus hidup untuk mengemban misi Jepang, yaitu Panji Pustaka. Pada masa Jepang, peran majalah Panji Pustaka tidak dapat diabaikan. Majalah ini memiliki lembaran khusus berbahasa daerah Jawa dan Sunda yang digunakan untuk program propaganda Jepang kepada rakyat jajahan yang belum pandai berbahasa Indonesia. Selama tahun 1950-an, Surabaya merupakan tempat penting terbitnya majalah berbahasa Jawa. Panjebar Semangat, Jaya Baya, Tjrita Tjekak, Kekasihku, dan Tjendrawasih, pernah terbit 5 Sri Widati. Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern Periode Kemerdekaan. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2001). Hlm 183-186. Hal itu dibuktikan dengan cukup banyak dan bervariasinya rubrik sastra dalam majalah tersebut, seperti rubrik „Crita Cekak‟ dan „Fuilleton‟ untuk sastra modern dan wayang, sastra babad, dan tembang macapat, untuk jenis-jenis sastra tradisional. Paper for “International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature” 6-7 November 2013 in University of Udayana, Bali Theme: “Austronesian—Non Austronesian Languages, Literature and Culture, Globalization and Revitalization” di kota tersebut. Keberadaan majalah berbahasa Jawa kadangkala juga ditunjang oleh pengayoman lembaga-lembaga non-profit. Di Yogyakarta, terbit majalah Praba dan Waspada yang bertahan hingga tahun 1965; Waspada oleh Komunis dan Praba oleh kalangan Katolik. Keinginan sejumlah sastrawan Jawa untuk mengembangkan sastra Jawa gagrak anyar muncul melalui penerbitan Tjrita Tjekak (1957). Namun, Tjrita Tjekak hanya berumur tiga tahun. Menurut Sapardi Djoko Damono, masyarakat rupanya belum siap menerima sastra Jawa corak baru semacam itu. Kehadiran majalah khusus cerpen tersebut juga sempat disusul oleh majalah khusus lain, yaitu Pustaka Roman (1954). Hal itu memicu bangkitnya kelompok pengarang baru, seperti Isdito, Satim Kadarjono, Senggono, St. Iesmaniasita, Titiek Sukarti, dan lain-lain, di samping Any Asmara, Soebagijo I.N., dan Poerwadhie Atmodihardjo.6 Dalam majalah Panjebar Semangat, fiksi sebenarnya sudah dimuat sejak tahun 1935, tapi Panjebar Semangat adalah majalah berita. Dalam majalah berita seperti Panjebar Semangat, fiksi tidak bermasalah. Ada kesan pembaca membutuhkan fiksi tersebut, bahkan majalah terasa kurang lengkap tanpa kehadiran fiksi. Tapi, ketika ia dipisahkan dari lingkungannya, yakni artikel-artikel yang faktual dan aktual, untuk berdiri sendiri di majalah khusus, ia menjadi “barang aneh” dan tidak dinikmati. Dalam bentuknya sebagai majalah khusus cerkak, Tjerita Tjekak cenderung terlalu mewah bagi khalayak Jawa umum dan berlimpah antara 7-8 cerkak setiap nomor. 7 Pada tahun 1971, di Yogyakarta muncul majalah baru, yaitu Djaka Lodhang, yang memiliki orientasi melestarikan dan mengembangkan bahasa, sastra, dan budaya Jawa. Selama dasawarsa 1950-an, dalam sastra Indonesia telah terbit majalah kesenian dan kebudayaan yang lebih banyak dibandingkan dengan dasawarsa mana pun, meskipun majalah6 Tim Peneliti Balai Bahasa Yogyakarta. Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern Periode Kemerdekaan. (Yogyakarta: Kalika Press, 2001). Hlm 233. 7 Sapardi DjokoDamono. Priayi Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an. (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000). Hlm 105. Paper for “International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature” 6-7 November 2013 in University of Udayana, Bali Theme: “Austronesian—Non Austronesian Languages, Literature and Culture, Globalization and Revitalization” majalah itu kebanyakan kemudian tidak berumur panjang. Namun, dibandingkan dengan novel bahasa Jawa, majalah yang isinya macam-macam lebih menarik bagi pembeli. Pada tahun 1970an boleh dikata tidak ada lagi pembeli buku saku roman panglipur wuyung, padahal pada puncaknya mereka mampu menjual 10.000 eksemplar ke pasar. Dengan berkurangnya tanggapan masyarakat terhadap buku saku atau novel berbahasa Jawa, peranan media massa cetak sebagai alat penyebarluasan karya sastra menjadi penting. Panjebar Semangat: Saksi Dinamika Majalah Berbahasa Jawa Panjebar Semangat adalah majalah mingguan berbahasa Jawa yang terbit di Surabaya sejak tahun 1933. Ketika itu, majalah ini menjadi bacaan kegemaran masyarakat banyak. Pada tahun 1954, Panjebar Semangat beroplah 22.000 eksemplar, hanya kalah tinggi dibanding Minggu Pagi, Star Weekly, dan Terang Bulan. Majalah ini perlu mendapatkan perhatian khusus karena memegang peranan penting dalam perkembangan fiksi berbahasa Jawa tahun 1950-an. Panjebar Semangat, selain merupakan majalah, juga berusaha di bidang penerbitan buku. Penerbit ini mengeluarkan seri terbitan, tetapi bukan karya sastra, misalnya Seri Watjan Rakyat, Seri Bacaan Rakyat yang berupa riwayat para tokoh. Di bawah pimpinan Imam Supardi, Panjebar Semangat menjadi majalah berbahasa Jawa yang paling berpengaruh dalam tahuntahun sebelum Perang Dunia II. Dari tahun 1935, majalah ini menerbitkan sejumlah novel dalam bentuk cerita bersambung yang dapat dibandingkan dengan terbitan Balai Pustaka. Novel-novel tersebut antara lain, Sri Susinah dengan Sandal Jinjit ing Sekaten Sala (1935) dan Sri Panggung Wayang Wong (1914), Br. Yudyatma dengan Gumebyar Lir Kencana Sinangling (1939), Anpirasi dengan Sawabe Ibu Pertiwi (1939), Isbandi Paramayuda dengan Gagak Gaok (1939), Mardanus dengan Paper for “International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature” 6-7 November 2013 in University of Udayana, Bali Theme: “Austronesian—Non Austronesian Languages, Literature and Culture, Globalization and Revitalization” Sawijining Wadi, dan lain sebagainya. Sekitar tahun 1936, genre cerita pendek juga muncul dalam Panjebar Semangat. Cerkak-cerkak yang dimuat memiliki kecenderungan nasionalisme dan sebagian besar menggunakan nama samaran. Di samping tema nasionalisme, tema sosial dan humor juga banyak digarap. Namun, mutu cerpen pada masa ini memang belum terlalu tinggi. Panjebar Semangat berukuran 20,5 x 29 cm, dengan tebal 20 halaman. Rubrik-rubrik yang ada sangat beraneka ragam. Di tengah-tengah rubrik-rubrik tersebut, cerita rekaan tampil dalam majalah Panjebar Semangat. “Crita Cekak” adalah ruang yang relatif muncul teratur selama dekade 50-an, terutama jika majalah tersebut sedang tidak memuat cerita bersambung. Majalah ini mula-mula memuat cerita bersambung dalam rubrik „Fuilleton‟, kemudian „Crita Sesambungan‟, dan terakhir „Crita Sambung Sinambung‟. Menurut catatan Suripan Sadi Hutomo, majalah tersebut mulai memuat cerita bersambung sejak terbitnya edisi 44, tahun III, 2 November 1935, dengan judul Sandhal Jinjit ing Sekaten Solo karya Sri Susinah (nama samaran). Cerita bersambung tersebut merupakan karya sastra yang mengandung nafas perjuangan bangsa. Setiap tahun, Panjebar Semangat memuat setidaknya sebuah cerita bersambung yang rata-rata berlangsung 12 nomor; terpendek 6 nomor dan terpanjang 20 nomor. Untuk memenuhi kebutuhan akan cerita bersambung itu, selama tahun 1950-an, Panjebar Semangat mengadakan beberapa kali sayembara penulisan. Di samping cerita rekaan, Panjebar Semangat juga memuat puisi, baik tradisional maupun gagrak anyar. Sastra Jawa modern disajikan berbarengan saja dengan berita aktual di majalah ini. Damono mengatakan cerita bersambung dari majalah Panjebar Semangat ini Paper for “International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature” 6-7 November 2013 in University of Udayana, Bali Theme: “Austronesian—Non Austronesian Languages, Literature and Culture, Globalization and Revitalization” sebagai “tempat berkembangnya novel Jawa modern, boleh dikatakan satu-satunya tempat penting di luar Balai Pustaka.”8 Pada masa pendudukan Jepang, majalah ini sempat mengalami pembreidelan. Satusatunya majalah yang masih ada hanyalah Panji Pustaka, yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Dari tahun 1943, majalah ini terbit dengan lampiran berbahasa Jawa dan Sunda. Dua orang penulis muda yang muncul adalah Purwadhie Atmadiharja dan Soebagijo I.N., mereka inilah yang kemudian mempelopori cerpen sesudah perang. 9 Panjebar Semangat baru kembali terbit tahun 1949 di bawah pimpinan redaksi Imam Supardi. Panjebar Semangat sebenarnya bukan satu-satunya majalah berbahasa Jawa pada dekade tersebut. Selain itu, juga ada majalah Jaya Baya yang mula-mula terbit di Kediri tahun 1945. Ketika agresi militer Belanda 1947, majalah ini menghentikan penerbitannya, dan muncul kembali di Surabaya tahun 1949. Majalah ini sempat beralih ke bahasa Indonesia, namun kemudian kembali ke bahasa Jawa karena tidak kuat bersaing dengan koran berbahasa Indonesia di Surabaya dan Jakarta. Pengarang-Pembaca dalam Majalah Bahasa Jawa Sejak tahun 1950-an, sastra Jawa memasuki masa yang disebut sastra majalah, karena sebagian besar karya sastra terbit melalui majalah umum berbahasa Jawa. Ketika produksi karya sastra Jawa mengalami kemandegan, karya-karya ini lahir. Karya-karya tersebut adalah karya sastra tulis berbahasa Jawa, berbentuk roman, puisi, dan cerpen yang terdapat di majalah 8 Sapardi DjokoDamono. Priayi Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an. (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000). Hlm 105. 9 J.J. Ras. Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir. (Jakarta: PT Grafitipers, 1985). Hlm 19. Paper for “International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature” 6-7 November 2013 in University of Udayana, Bali Theme: “Austronesian—Non Austronesian Languages, Literature and Culture, Globalization and Revitalization” berbahasa Jawa. Apalagi sejak awal Orde Baru, majalah atau pers berbahasa Jawa merupakan wahana yang amat penting untuk penerbitan dan pendistribusian sastra Jawa karena sejak itu penerbit novel semakin tidak menunjukkan partisipasinya dalam menerbitkan dan menyebarluaskan karya sastra. Hutomo menyebut periode pascatahun 1965 sebagai Periode Sastra Majalah karena kehidupan sastra Jawa pada masa itu mutlak di bawah kepengayoman media massa. Peralihan dari tradisi buku ke tradisi majalah –yang semakin mantap pada tahun 1980-an- menunjukkan eksistensi dunia pers menjadi pengayom bagi kehidupan sastra Jawa.10 Di balik kebangkitan kembali majalah dan kehadiran novel-novel tersebut, ada dua elemen penting yang perlu dicatat, yakni bangkitnya pengarang sebagai pencipta karya sastra dan dunia penerbitan sebagai lembaga pencetakan dan pendistribusian. 11 Majalah-majalah tersebut memberikan peranan penting, karena mereka juga membantu para penulis menerbitkan novel. A. Saerozi misalnya, menerbitkan novel Katresnan lan Kuwajiban (1957), yang awalnya merupakan cerita bersambung di majalah Panjebar Semangat. Senggana juga menerbitkan novel dalam Jaya Baya dengan judul Wahyu Saka Kubur (1957). Sesudah Perang Dunia II, peranan pers semakin signifikan. Pada 1945, mingguan Jaya Baya terbit di Kediri, Panjebar Semangat yang sempat dihentikan pada masa Jepang juga muncul kembali tahun 1949. Mekar Sari terbit di Yogya dari tahun 1957. Di samping itu, muncul majalah-majalah lain dengan oplah yang lebih kecil, di antaranya Waspada (Yogyakarta, 1952), Tjrita Tjekak (Surabaya, 1955), Gotong Royong (Surabaya, 1963), Candra Kirana (Surabaya, 1964), dan Tjendrawasih (Surabaya 1957). Melalui majalah-majalah inilah, karya-karya penulis Jawa sampai pada pembacanya. 10 Tim Peneliti Balai Bahasa Yogyakarta. Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern Periode Kemerdekaan. (Yogyakarta: Kalika Press, 2001). Hlm 412. 11 Ibid. Hlm 409. Paper for “International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature” 6-7 November 2013 in University of Udayana, Bali Theme: “Austronesian—Non Austronesian Languages, Literature and Culture, Globalization and Revitalization” Kejayaan majalah berbahasa Jawa sempat diselingi dengan ledakan karya roman penglipur wuyung atau roman picisan pada tahun 1960-an. Penulis yang terkenal pada masa itu adalah Any Asmara, yang menghasilkan sekitar seratus buku saku. Roman penglipur wuyung ini adalah buku kecil ukuran buku saku, yang umumnya buruk kualitas cetakannya dan dijual dengan harga yang murah. Isinya kerapkali berkisar pada masalah percintaan. Damono menyebut sastra populer ini sebagai sastra pelarian, tempat pembaca berusaha menghindarkan diri dari segala sesuatu dalam kehidupan sehari-hari yang digolongkan sebagai keburukan.12 Banyak pihak yang menanggapi masa kejayaan roman panglipur wuyung ini dengan nada negatif. Suparto Brata mengatakan, sejak waktu itu, 1966, dunia sastra Jawa seperti mati tegak. Tidak ada pembaca dan penerbit. Pelanggan majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat dan Jaya Baya merosot tajam. Panjebar Semangat yang pernah mencapai oplah 80.000 eksemplar pada tahun 1960-an, merosot menjadi kurang dari 10.000 eksemplar tiap terbit. Masyarakat merasa jenuh dan muak dengan buku-buku saku yang berisi cerita cabul. 13 Kualitas buku-buku saku panglipur wuyung tersebut banyak yang perlu dikritisi. Ketika gejala ini menyurut kembali, bermunculan majalah-majalah berbahasa Jawa di luar Surabaya. Di samping majalah yang telah ada, muncul majalah-majalah baru seperti Kembang Brayan (Yogyakarta 1966), Djaka Lodhang (Yogyakarta 1967), Kunthi (Jakarta, 1969), Dharma Kanda (Surakarta 1970), Dharma Nyata (Surakarta 1971), Parikesit (Surakarta 1971), dan Kumandang (Jakarta 1973). Menurut J.J. Ras, majalah-majalah inilah yang mengalihkan perhatian pembaca dari penerbitan buku saku ke penerbitan buku lain. Ia juga 12 Sapardi DjokoDamono. Priayi Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an. (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000). Hlm 227. Dalam sejarah sastra Indonesia juga pernah terjadi ledakan novel populer, yang diawali oleh kemunculan novel-novel Motinggo Busye. Antara tahun 1967 sampai 1970, berkembanglah novelnovel saku yang mengepigoni novel Motinggo Busye. 13 Suparto Brata. Jatuh Bangun Bersama Sastra Jawa. (Jakarta: Proyek Penulisan dan Penerbitan Buku/Majalah Pengetahuan Umum dan Profesi Depdikbud, 1981).Hlm 68. Paper for “International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature” 6-7 November 2013 in University of Udayana, Bali Theme: “Austronesian—Non Austronesian Languages, Literature and Culture, Globalization and Revitalization” berpendapat bahwa bagi masyarakat Jawa, membeli majalah lebih menguntungkan daripada membeli buku saku yang hanya berisi satu cerita. Orang Jawa membeli majalah juga sebagian tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk kalangan sekitarnya. Suparto Brata (dalam “Sastra Jawa Dahulu, Kemarin, Kini, dan Lusa”, Jawa Pos 1 Agustus 1993), menyebutkan pada awal tahun 1960-an, pers berbahasa Jawa pernah menduduki posisi paling depan yang diwakili oleh Panjebar Semangat. Pada waktu itu, Panjebar Semangat mampu mencapai oplah 80.000 eks per minggu, sementara harian berbahasa Indonesia hanya 20.000 dan majalahnya hanya sekitar 7000 per minggu. Jumlah pembaca sastra Jawa modern ini tergambar sesuai dengan jumlah penerbitan dan distribusi majalah berbahasa Jawa. Pada tahun 1960-an, Panjebar Semangat mencapai oplah sebesar 85.000. Namun, pada tahun 1868, oplahnya menurun menjadi 22.000, dan meningkat lagi menjadi 35.000 eks pada tahun 1974. Hal itu menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun, jumlah pembaca majalah berbahasa Jawa tidak pernah stabil, bahkan ada kecenderungan semakin menurun. Pembaca sastra Jawa modern lebih banyak didominasi oleh pembaca umum bukan pembaca sastra serius, sesuai dengan penyebarannya yang „menebeng‟ pada majalah umum. Beberapa majalah khusus sastra Jawa seperti Tjrita Tjekak, Pustaka Roman, dan Kekasihku, eksistensinya tidak berlangsung lama. Kenyataan lain bahwa pembaca sastra Jawa modern adalah masyarakat umum dapat dibuktikan melalui adanya berbagai rubrik di majalah-majalah tersebut yang terkait dengan masalah-masalah umum, misalnya kewanitaan, kebudayaan, budi pekerti, kesehatan, pertanian, hingga politik. Rubrik sastra hanya menempati 20% dari jumlah rubrik yang ada. 14 Di sisi lain, 14 Tim Peneliti Balai Bahasa Yogyakarta. Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern Periode Kemerdekaan. (Yogyakarta: Kalika Press, 2001). Hlm 174. Paper for “International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature” 6-7 November 2013 in University of Udayana, Bali Theme: “Austronesian—Non Austronesian Languages, Literature and Culture, Globalization and Revitalization” regenerasi penulis karya sastra Jawa juga tidak berlangsung dengan baik. Banyak generasi muda suku Jawa yang tidak bisa berbahasa Jawa. Perkembangan tema karya sastra di majalah berbahasa Jawa sangat dipengaruhi oleh keadaan sosial masyarakat. Tema-tema yang berkembang saat ini bukan saja berkisar pada masalah keraton-ksatria, tetapi juga permasalahan sosial yang aktual bagi masyarakat. Djaka Lodhang No. 34, Taun XLII Januari 2013 misalnya, memuat salah satu cerkak yang berjudul “Gandrung Facebook” karya Gayuh R. Saputro. J.J. Ras dalam antologi bunga rampai sastra Jawa modern yang disusunnya memperlihatkan kompleksitas tema dalam karya-karya sastra Jawa, mulai dari tema perjuangan kemerdekaan, pergeseran nilai-nilai kemasyarakatan dan susila, masalah pemilihan jodoh dan hidup berumah tangga, pertentangan antara kehidupan kota dan kehidupan desa, derita kaum urban, masalah kejahatan, pelacuran, dan perjudian. Masa Depan Sastra Jawa Saat ini, praktis hanya ada tiga majalah berbahasa Jawa yang eksis, yaitu Panjebar Semangat, Jayabaya, dan Djaka Lodhang. Jumlah itu ditambah dengan beberapa surat kabar yang menyisipkan suplemen berbahasa Jawa dalam terbitan setiap minggunya, seperti suplemen mingguan empat halaman berbahasa Jawa di harian Solo Pos yang bernama Jagad Jawa, rubrik khusus berbahasa Jawa di harian Kedaulatan Rakyat yang bernama Mekarsari dan rubrik khusus berbahasa Jawa di harian Suara Merdeka yang bernama Sang Pamomong. Selain itu, sebenarnya ada juga media berbahasa Jawa kelas media internal yang diterbitkan dan dikelola oleh komunitas tertentu. Di Solo, terdapat mBangun Tuwuh, sebuah majalah berbahasa Jawa yang dikelola oleh trah Mangkunegaran dengan pelanggan di seluruh pelosok Nusantara. Paper for “International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature” 6-7 November 2013 in University of Udayana, Bali Theme: “Austronesian—Non Austronesian Languages, Literature and Culture, Globalization and Revitalization” Ada semacam lingkaran yang menyebabkan terpuruknya sastra Jawa. Lingkaran tersebut disebabkan oleh relasi pembaca-pengarang-penerbit. Sastra Jawa sejak tahun 1950-an pada dasarnya adalah sastra majalah, hanya sejumlah kecil novel dan bunga rampai cerita pendek dan sajak diterbitkan dalam bentuk buku. Ketika pada tahun 1960-an sastra majalah Jawa mulai tumbuh lagi, pada waktu itu kedudukan bahasa Indonesia sudah menguat di tengah masyarakat. Sejak tahun 1950-an, semua sastrawan Jawa bisa dibilang adalah dwibahasawan, beberapa bahkan menulis dalam dua bahasa sekaligus. Banyak pengarang Jawa yang menulis prosa dan puisi cenderung memilih medium bahasa nasional dibandingkan bahasa Jawa.15 Tidak ada majalah yang baru terbit pasca 1966 bisa menjadi besar seperti Panjebar Semangat, bahkan untuk bertahan cukup lama pun tidak mampu. Para penulisnya menyeberang ke bahasa Indonesia seorang demi seorang. Apresiasi terhadap penulis sastra Jawa tidak sebanding dengan perjuangan mereka menulis dalam bahasa Jawa. Rendahnya honorarium tersebut juga disebabkan oleh sedikitnya daya jual majalah, sebagai akibat dari minimnya pembaca sastra Jawa. Orientasi hidup menjadi warga negara Indonesia, yang mengutamakan bahasa tutur dan bahasa ekspresi dengan bahasa Indonesia, secara langsung mengendorkan intensitas dan greget mengembangkan kehidupan sastra Jawa modern. 16 Sejak tahun 1970-an perpindahan perhatian pengarang dari sastra Jawa ke sastra Indonesia semakin jelas. Hal itu menimbulkan kekhawatiran bagi sejumlah kalangan. Arswendo misalnya, yang menulis “Kalaupun Sastra Jawa Berakhir, Farida Soemargono. “Sastrawan Malioboro” 1945-1960 Dunia Jawa dalam Kesusastraan Indonesia. (Mataram: Penerbit Lengge, 2004). Buku ini menyinggung masuknya unsur budaya Jawa dalam sastra Indonesia, dan para penulis Jawa yang beralih ke bahasa Indonesia, seperti Sri Murtono, D. Suradji, Subagio Sastrowardoyo, Kirjomulyo, dan W.S. Rendra. 16 Linus Suryadi AG. “Pengarang Sastra Jawa Modern dan Tantangannya”, dalam kumpulan karangan Dari Pujangga ke Pengarang Jawa. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995). Hlm 52. Paper for “International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature” 6-7 November 2013 in University of Udayana, Bali Theme: “Austronesian—Non Austronesian Languages, Literature and Culture, Globalization and Revitalization” 15 Apa Salahnya?” (Kompas 31 Maret 1975), menyindir dengan tajam bahwa sastra Jawa kini hanya hidup di dalam sarasehan.17 Tersisihnya karya sastra Jawa modern tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang menekankan peningkatan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Kebijakan tersebut menyebabkan semakin terpuruknya posisi bahasa Jawa, seperti yang diungkapkan oleh Siswamartana melalui sajak “Nangis Nglolo” (Medan Bahasa Basa Jawi, No. 12, tahun III, 1958), //Genea kowe bahasa Jawa/Dhek sewu taunan kepungkur/Kondhang kombul kawentar kasuwur/Saiki surem tanpa cahaya//. Sementara itu, problem sastra Jawa modern juga berada pada identitas atau corak kesusastraannya sendiri. Karya sastra Jawa modern terjepit di antara karya sastra Indonesia dan khazanah budaya dan sastra Jawa klasik. 18 Ada kesan yang kuat bahwa sejak pertumbuhannya, sastra Jawa modern berada di bawah bayang-bayang sastra Jawa klasik, terutama yang berakar di keraton. Di samping itu, ia juga berada di bawah bayangan sastra Indonesia modern yang tumbuh pada waktu yang bersamaan. Sastra Jawa modern tidak lagi dilindungi oleh kerajaan atau penguasa. Perhatian terhadap sastra ini terbatas pada sekelompok kecil masyarakat suku Jawa saja. Etos kerja yang begitu terbayang-bayangi oleh prestasi pujangga Jawa Kuno dan Jawa Madya, tapi tidak menangkap spirit yang memungkinkan mereka sanggup melahirkan karyakarya sastra monumental, pada gilirannya akan menjerat keberadaannya. Di samping itu, resepsi masyarakat terhadap karya sastra Jawa tidak terlalu menggembirakan. Para pelanggan majalah berbahasa Jawa kebanyakan adalah orang-orang tua 17 Sapardi Djoko Damono. Priayi Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an. (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000). Hlm 397. 18 Ibid. Hlm 1. Lihat juga Linus Suryadi AG. “Pengarang Sastra Jawa Modern dan Tantangannya”, dalam kumpulan karangan Dari Pujangga ke Pengarang Jawa. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995). Hlm 55. Paper for “International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature” 6-7 November 2013 in University of Udayana, Bali Theme: “Austronesian—Non Austronesian Languages, Literature and Culture, Globalization and Revitalization” dan instansi yang berkepentingan seperti Perpustakaan Daerah dan Balai Bahasa. Jarang ditemukan anak muda yang berlangganan majalah berbahasa Jawa, bahkan banyak kalangan „generasi facebook’ tersebut yang tidak mengenal majalah berbahasa Jawa. Hal itu setali tiga uang dengan masalah pengembangan dan pelestarian bahasa Jawa. Tidak sedikit generasi muda suku Jawa yang tidak lagi bisa berbahasa Jawa. Jika untuk memahami bahasa Jawa saja mereka kesulitan, apalagi untuk membaca karya sastra Jawa. Rendahnya tingkat baca masyarakat terhadap karya sastra Jawa, pada gilirannya menyebabkan seretnya industri penerbitan dan percetakan sastra Jawa. Novel Jawa tidak dapat bersaing dengan novel berbahasa Indonesia, baik secara kualitas maupun kuantitas. Tidak adanya penerbit yang mau menerbitkan sastra Jawa, sebagian besar karena alasan ekonomi. Menurut Sapardi Djoko Damono, potensi yang ada dalam bahasa Jawa mungkin sekali bisa terwujud dalam karya sastra seandainya sastra Jawa memiliki majalah terbatas seperti halnya sastra Indonesia. 19 Sebelum perang, sastra Indonesia memiliki majalah Poedjangga Baroe yang meskipun hanya beberapa ratus eksemplar saja, tapi pengaruhnya terhadap perkembangan sastra Indonesia sangat besar. Sesudah perang, tradisi itu diteruskan dengan majalah-majalah seperti Konfrontasi, Indonesia, dan Zenith. Dalam majalah-majalah itulah, tumbuh kritik sastra, suatu kegiatan yang membuktikan adanya minat yang sungguh-sungguh terhadap perkembangan sastra modern. Sebaliknya, dalam perkembangan sastra Jawa modern, hal semacam itu boleh dikatakan tidak terjadi. Tidak ada usaha sungguh-sungguh untuk mengusahakan majalah terbatas, dan bahkan usaha untuk membuat ruangan khusus di majalah umum pun ternyata tidak dilakukan. Dalam 19 Sapardi Djoko Damono. Priayi Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an. (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000). Hlm 403. Paper for “International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature” 6-7 November 2013 in University of Udayana, Bali Theme: “Austronesian—Non Austronesian Languages, Literature and Culture, Globalization and Revitalization” situasi demikian, kemungkinan munculnya kritik sastra kecil sekali. Masalah kritik sastra merupakan masalah yang penting diperhatikan. Sastra Jawa modern, termasuk yang berada di majalah bahasa Jawa, hampir-hampir tanpa kritik. Latar belakang sejarah sastra Jawa sendiri, rupanya menjadi penyebab utama kelangkaan esai dan kritik karea dalam khazanah sastra Jawa kuno dan Jawa Madya tidak dikenal esai dan kritik sastra.20 Tanpa kritik sastra berarti tidak ada perhatian yang sungguh-sungguh terhadap perkembangan sastra Jawa modern. Sementara itu, Suparto Brata menulis bahwa “untuk mati, sastra Jawa baru kira-kira memang sulit. Selama orang masih mempergunakan bahasa Jawa, maka pengarang Jawa masih akan bermunculan dan akan menemukan penggemarnya. Apalagi bertambahnya orang Jawa sekarang diikuti dengan bertambahnya orang Jawa yang bisa membaca dan menulis. Sayangnya, bahasa Jawa sekarang tidak terpelihara.”21 Penutup Sastra Jawa merupakan sebuah ranah kajian yang sangat kompleks, mengingat perjalanan tradisi kesuasastraan ini pun sudah berumur ratusan tahun. Selama masa tersebut, sastra Jawa terus mengalami dinamika yang berhubungan dengan kondisi sosio-politik dan kultural masyarakat pendukungnya. Pada masanya, sastra Jawa pernah mencapai titik kejayaan dan mendapatkan perlindungan di bawah supremasi kerajaan. Namun kini di era modern, sastra Jawa 20 Linus Suryadi AG. Dari Pujangga ke Pengarang Jawa. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995). Hlm 9. Esmiet dalam tulisan “Sastra lan Basa Jawa Kapiji dening Kasusastran Indonesia” (Mekar Sari, 1-15 Januari 1985), juga menyinggung masalah kritik sastra ini sebagai faktor penyebab kurang berkembangnya sastra Jawa, selain masalah kurang penerbit, kualitas pengarang, dan kurangnya alat komunikasi. 21 Suparto Brata. Jatuh Bangun Bersama Sastra Jawa. (Jakarta: Proyek Penulisan dan Penerbitan Buku/Majalah Pengetahuan Umum dan Profesi Depdikbud, 1981). Hlm 114. Ia menyatakan bahwa sastra Jawa membutuhkan pupuk yang cukup mahal harganya, yaitu diubahnya politik pengajaran bahasa daerah. Sastra Jawa tidak akan hidup subur kalau hanya dibiarkan hidup sebagaimana kemampuan penggemarnya. Ada tiga motor penggerak kegiatan sastra Jawa, yaitu daya, dana, dan politik bahasa. Paper for “International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature” 6-7 November 2013 in University of Udayana, Bali Theme: “Austronesian—Non Austronesian Languages, Literature and Culture, Globalization and Revitalization” mengalami titik balik yang drastis. Proses produksi karya sastra Jawa tinggal dilakukan oleh segelintir orang. Jika melihat kondisi sastra Jawa saat ini, nyaris tidak dapat dipercayai bahwa sastra Jawa pernah melahirkan karya-karya besar dan para pujangga yang termahsyur. Pada masa ketika tradisi sastra Jawa mencapai titik balik, majalah-majalah berbahasa Jawa hadir untuk mempertahankan eksistensi sastra Jawa. Keberadaan majalah-majalah tersebut merupakan angin segar bagi upaya pelestarian sastra Jawa. Penulis merasa bahwa makalah ini masih sangat dangkal dan superfisial dalam membahas peranan majalah berbahasa Jawa. Oleh karena itu, penelitian-penelitian lainnya mengenai peranan majalah berbahasa Jawa dalam upaya pelestarian sastra Jawa perlu dilakukan. Perkembangan tema, bahasa, dan resepsi pembaca terhadap majalah berbahasa Jawa, merupakan beberapa tema menarik yang dapat diteliti. Dengan adanya penelitian-penelitian semacam itu, diharapkan dapat menambah khazanah keilmuan sastra Jawa yang kini mulai mundur dari gelanggang. Paper for “International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature” 6-7 November 2013 in University of Udayana, Bali Theme: “Austronesian—Non Austronesian Languages, Literature and Culture, Globalization and Revitalization” Daftar Pustaka Anderson, Benedict R. O‟G.. 1996. “Sembah-Sumpah: The Politics of Language and Javanese Culture” dalam Latif, Yudi dan Idi Subandy Ibrahim (ed.). Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru. Bandung: Mizan. Brata, Suparto. 1981. Jatuh Bangun Bersama Sastra Jawa. Jakarta: Proyek Penulisan dan Penerbitan Buku/Majalah Pengetahuan Umum dan Profesi Depdikbud. Damono, Sapardi Djoko. 2000. Priayi Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Ras, J.J. 1985. Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir. Jakarta: PT Grafitipers. Soemargono, Farida. 2004. “Sastrawan Malioboro” 1945-1960 Dunia Jawa Kesusastraan Indonesia. Mataram: Penerbit Lengge. dalam Suryadi AG, Linus. 1995. Dari Pujangga ke Pengarang Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Tim Peneliti Balai Bahasa Yogyakarta. 2001. Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern Periode Kemerdekaan. Yogyakarta: Kalika Press. Widati, Sri, dkk. 2001. Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern Periode Kemerdekaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Zoetmulder, P.J. 1985. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Penerbit Djambatan. Djaka Lodhang, edisi Sabtu Pon, No. 34 Taun XLII 19 Januari 2013. Sumber Sekunder Asrori, Muhammad. Menyoal Sastra Jawa, Membincang Jaya Baya, dalam http://warungfiksi.net/menyoal-sastra-Jawa-membincang-jaya-baya/, diunduh pada 11 Oktober 2012 pkul 21.44. Paper for “International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature” 6-7 November 2013 in University of Udayana, Bali Theme: “Austronesian—Non Austronesian Languages, Literature and Culture, Globalization and Revitalization”